PENGERTIAN ALTERASI HIDROTHERMAL, FAKTOR ALTERASI HIDROTHERMAL, DAN KLASIFIKASI ALTERASI HIDROTHERMAL
ALTERASI HIDROTHERMAL
Intensitas Alterasi (Alteration Intensity)
Intensitas alterasi memerikan sebaran banyak batuan telah mengalami ubahan yang disebabkan oleh proses alterasi hidrotermal. Rasio air/batuan (w/r) dan lamanya proses ubahan akan menyebabkan perbedaan intensitas ubahan (secara umum tingkatannya meliputi terubah total, sangat kuat, kuat, sedang, lemah hingga tak terubah) dan juga derajat alterasi (terkait dengan stabilitas pembentukan). Intensitas ubahan lemah diartikan bahwa hanya sebagian kecil mineral primer yang telah diganti (di-replaced) menjadi mineral sekunder dengan sedikit atau tidak ada perubahan tekstur primer (Pirajno, 2009). Berikut ini disampaikan tingkatan intensitas ubahan berdasarkan jumlah mineral ubahan pada batuan, yakni: batuan tidak terubah (unaltered) tidak ada mineral sekunder, terubah lemah (weak) jika mineral sekunder < 25 vol %, terubah sedang (moderate) jika mineral sekunder 25 – 75 vol %, terubah kuat (strong) jika mineral sekunder > 75 vol %, terubah intens (intense) jika seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zirkon dan apatit), tetapi tekstur primernya masih terlihat sedangkan jika terubah total jika seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zirkon dan apatit) serta tekstur primer sudah tidak nampak lagi.
Pola Alterasi (Style of Alteration)
Stabilitas mineral primer yang mengalami ubahan sering membentuk pola ubahan (style of alteration) pada batuan. Secara umum dikenal adanya tiga pola ubahan, yaitu: pervasive, selectively pervasive dan non-pervasive (Pirajno, 1992).
Alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi akibat batuan berinteraksi dengan larutan hidrotermal. Alterasi hidrotermal mengakibatkan terjadinya penggantian mineral dari kelompok mineral awal menjadi kumpulan mineral baru yang relatif lebih stabil pada kondisi hidrotermal yaitu dengan suhu, tekanan, dan komposisi tertentu. Endapan hidrotermal dapat terbentuk karena adanya sirkulasi fluida hidrothermal yang bersifat leaching, mentransport dan mengendapkan mineral - mineral baru yang membentuk zona mineralisasi sebagai respon terhadap perubahan kondisi fisik maupun kimiawi (Pirajno, 1992). Pada kesetimbangan tertentu proses hidrothermal akan menghasilkan kumpulan mineral - mineral tertentu yang dikenal dengan himpunan mineral (mineral assemblage). Setiap himpunan mineral akan mencerminkan tipe ubahan (type of alteration).
Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas
alterasi :
- Karakteristik batuan samping
- Karakteristik fluida hidrothermal
- Kondisi dan tekanan pada saat reaksi berlangsung
- Konsentrasi serta lama aktivitas hidrothermal
Intensitas Alterasi (Alteration Intensity)
Intensitas alterasi memerikan sebaran banyak batuan telah mengalami ubahan yang disebabkan oleh proses alterasi hidrotermal. Rasio air/batuan (w/r) dan lamanya proses ubahan akan menyebabkan perbedaan intensitas ubahan (secara umum tingkatannya meliputi terubah total, sangat kuat, kuat, sedang, lemah hingga tak terubah) dan juga derajat alterasi (terkait dengan stabilitas pembentukan). Intensitas ubahan lemah diartikan bahwa hanya sebagian kecil mineral primer yang telah diganti (di-replaced) menjadi mineral sekunder dengan sedikit atau tidak ada perubahan tekstur primer (Pirajno, 2009). Berikut ini disampaikan tingkatan intensitas ubahan berdasarkan jumlah mineral ubahan pada batuan, yakni: batuan tidak terubah (unaltered) tidak ada mineral sekunder, terubah lemah (weak) jika mineral sekunder < 25 vol %, terubah sedang (moderate) jika mineral sekunder 25 – 75 vol %, terubah kuat (strong) jika mineral sekunder > 75 vol %, terubah intens (intense) jika seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zirkon dan apatit), tetapi tekstur primernya masih terlihat sedangkan jika terubah total jika seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zirkon dan apatit) serta tekstur primer sudah tidak nampak lagi.
Pola Alterasi (Style of Alteration)
Stabilitas mineral primer yang mengalami ubahan sering membentuk pola ubahan (style of alteration) pada batuan. Secara umum dikenal adanya tiga pola ubahan, yaitu: pervasive, selectively pervasive dan non-pervasive (Pirajno, 1992).
- Pervasive : Pola ubahan pervasive diartikan sebagai penggantian seluruh atau sebagian besar mineral pembentuk batuan. Semua mineral primer pembentuk batuan telah mengalami ubahan, walaupun intensitasnya dapat berlainan.
- Selectively Pervasive : Pola ubahan selectively pervasive hanya terjadi pada mineral-mineral tertentu pada batuan. Misalnya klorit pada andesit hanya mengganti piroksen saja, sedangkan plagioklas tidak ada yang terubah sama sekali. Dalam alterasi ini tekstur batuan asal masih tersisa.
- Non-Pervasive : Pola ubahan non-pervasive yaitu pola ubahan yang hanya bagian tertentu dari keseluruhan batuan yang mengalami ubahan hidrotermal.
Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral alterasi disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Berikut adalah penyederhanaan dari beberapa zona alterasi menjadi beberapa kelompok alterasi, yaitu sebagai berikut :
Berdasarkan klasifikasi dari Corbett and
Leach (1997), mineral alterasi hidrotermal berdasarkan pH dan suhu dibagi
kedalam beberapa group, yaitu :
- Potasik :Merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan intrusi. Temperatur fluida hidrothermal lebih dari 3000C dan salinitas tinggi. Zona alterasi ini dicirikan dengan pembentukan mineral sekunder berupa k-feldspar, biotit, kuarsa, dan magnetit. Selain itu aktinolit, epidot, klorit, dan anhidrit, serta sedikit rutil dan albit juga dapat muncul dalam zona ini.
- Propilitik : Merupakan zona alterasi yang terbentuk pada kondisi pH netral sampai alkali dengan temperatur berkisar antara 2000C - 3000C. Mineral - mineral penciri zona ini di antaranya adalah klorit, kalsit, dan epidot yang dapat disertai dengan kuarsa, adularia, albit, serisit, dan anhidrit. Zona ini merupakan fase alterasi lanjutan dari alterasi potasik.
- Filik : Merupakan zona alterasi yang ditandai dengan kehadiran mineral sekunder yang didominasi oleh serisit dan kuarsa. Selain itu dapat pula muncul pirit dan anhidrit. Tipe alterasi ini terbentuk akibat fluida netral sampai asam pada temperatur sedang yaitu berkisar antara 2000C - 4000C. Biasanya terbentuk pada daerah yang permeable dan berdekatan dengan urat.
- Argilik : Merupakan zona alterasi yang ditandai dengan pembentukan mineral lempung bertemperatur rendah seperti kaolinit, montmorillonit, smektit, dan illit. Alterasi ini terbentuk akibat kondisi fluida hidrotermal netral sampai asam dengan temperatur rendah (<2300C).
- Argilik Lanjut : Merupakan zona alterasi yang terbentuk pada fluida asam (pH<4) yang ditandai dengan hadirnya alunit, diaspor, pirofilit, bersama dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit.
- Skarn : Tipe alterasi skarn terbentuk pada fluida dengan salinitas netral hingga asam pada temperature sedang hingga tinggi. Tipe ini dicirikan oleh mineral zeolite-klorit-karbonat yang terbentuk pada suhu rendah dan klinopiroksen-garnet yang terbentuk pada suhu tinggi. Dijumpai juga mineral epidote, aktinolit, dan magnetit.
1.
Group
Mineral Silika
Mineral silika merupakan mineral alterasi
yang stabil dan terbentuk pada fluida dengan pH sangat rendah pada umumnya
dibawah pH 2 (Stoffregen, 1987, dalam Corbett dan Leach, 1997). Saat
pembentukan pada suhu <1000C terbentuk mineral opalin silika,
kristobalit, tridimit. Mineral kalsedon biasa terbentuk pada suhu antara 1000
– 2000C. Pembentukan alterasi silika dibawah pH 2 menyebabkan
terbentuknya tekstur Vuggy (White,
1991, dalam Corbett dan Leach, 1997) akibat terkikisnya hampir seluruh kation
kecuali silika (dan sedikit Fe, Al, dan Ti) dari batuan, hal ini pun yang
menyebabkan supersaturasi silika pada kompleks sulfat - silika pada kondisi
cairan pH rendah tersebut (Fournier,
1985, dalam Corbett dan Leach, 1997), dengan demikian terbentuklah deposisi
mineral sulfat seperti alunit - barit dari hasil cairan - cairan tersebut yang menghasilkan
presipitasi mineral kelompok silika. Proses pembentukkan alterasi hidrothermal
pada suhu 3000 – 4000C dengan tekanan, salinitas cairan
dan suhu memiliki peranan yang sangat penting. Akibatnya apabila terjadi
penurunan tekanan yang cepat kemungkinan terjadi perubahan tekanan yaitu dari
tekanan litostatik berubah menjadi tekanan hidrostatik pada lingkungan porfiri
yang menyebabkan perkembangan stockwork
vein kuarsa.
2.
Group
Mineral Alunit
Pada rentang suhu yang luas dan kondisi
fluida pH antara 2 - 3 alunit terbentuk bersama dengan mineral silika
(Stoffregen, 1987, dalam Corbett dan Leach, 1997). Alunit juga berasosiasi
dengan korundum pada suhu tinggi >4000C (Hemley dkk., dalam
Corbett dan Leach, 1997).
3.
Group
Mineral Kaolin
Kelompok mineral kaolin terbentuk pada pH
sekitar 4 (Reyes, 1990, dalam Corbett dan Leach, 1997) dan bersamaan dengan
kelompok mineral dengan transisi pH 3 - 4 (Stoffregen, 1987, dalam Corbett dan
Leach, 1997). Haloisit terbentuk akibat hasil pelapukan supergen. Kaolinit terbentuk
pada kedalaman dangkal dibawah kondisi suhu rendah (<1500 - 2000C)
sedangkan pirofilit terbentuk pada suhu (<2000 – 250oC).
Mineral dickit terbentuk pada lingkungan diantara lingkungan kaolinit dan
pirofilit. Mineral diaspor secara lokal tebentuk bersamaan dengan kelompok
alunit dan atau kaolinit, umumnya di zona silisifikasi intens (Hemley dkk,.
1980, dalam Corbett dan Leach, 1997).
4.
Group
Mineral Klorit
Kelompok ini mendekati pH netral, mineral
klorit - karbonat dominan terbentuk hadir bersama ilit dalam lingkungan fluida
pH 5 - 6 (Leach dan Muchemi, 1987, dalam Corbett dan Leach, 1997). Interlayerred klorit - smektit hadir
pada temperatur rendah dan gradasi ke klorit semakin meningkatnya suhu
(Kristmannsdotter, 1984, dalam Corbett dan Leach, 1997). Kelompok ini mendekati
pH netral, mineral klorit - karbonat dominan terbentuk hadir bersama ilit dalam
lingkungan fluida pH 5 - 6 (Leach dan Muchemi, 1987, dalam Corbett dan Leach,
1997). Interlayerred klorit - smektit
hadir pada temperatur rendah dan gradasi ke klorit semakin meningkatnya suhu
(Kristmannsdotter, 1984, dalam Corbett dan Leach, 1997).
5.
Group
Mineral Kalk-Silikat
Kelompok mineral kalk-silikat terbentuk pada
pH netral - basa. Zeolit - klorit - karbonat terbentuk pada suhu rendah dan
epidot diikuti oleh amfibol sekunder (terutama aktinolit) semakin berkembang
seiring dengan meningkatnya suhu. Zeolit hadir secara progresif semakin dalam
dan panas dalam sistem hidrotermal (Steiner, 1977; Leach dkk., 1983, dalam
Corbett dan Leach, 1997). Epidot hadir sebagai kristal berbutir buruk pada suhu
sekitar 180 – 2200 C dan juga fase kristalin pada temperatur lebih
tinggi >220 – 2500 C (Reyes, 1990, dalam Corbett dan Leach,
1997). Aktinolit terbentuk pada suhu >2800 - 3000 C
(Browne, 1978, dalam Corbett dan Leach, 1997). Biotit berkembang pada suhu
>300 - 3250 C yang berbatasan langsung dengan intrusi porfiri.
6.
Group
Mineral Lain-lain
Mineral karbonat merupakan mineral yang biasa
hadir pada kondisi pH atau suhu dalam kisaran yang lebih panjang dan berkaitan
dengan kaolin, ilit, klorit dan kelompok kalk-silikat. Zonasi kelompok karbonat
dengan meningkatnya pH fluida sering dijumpai pada sistem hidrothermal (Leach
dan Corbett, 1997). Karbonat Fe - Mn atau kelompok siderit-rodokrosit biasa
hadir dengan mineral lempung berupa kaolin dan ilit. Sementara itu karbonat Ca -
Mg (kalsit - dolomit) ada bersama mineralogi klorit-kalk-silikat.
Mineral feldspar berasosiasi dengan mineral
klorit dan kalk-silikat. Feldspar sekunder umumnya stabil pada kondisi pH
netral sampai basa. Albit terbentuk ketika rasio aNa+/aK+
tinggi dan kalium feldspar terbentuk ketika rasio aNa+/aK+
rendah (Browne, 1978, dalam Corbett dan Leach, 1997). Adularia merupakan jenis
kalium feldspar yang terbentuk pada suhu rendah sedangkan ortoklas merupakan
jenis kalium feldspar yang terbentuk pada suhu tinggi dalam lingkungan porfiri.
Mineral sulfat terbentuk pada hampir di semua suhu dan
kisaran pH pada sistem hidrothrmal. Sedangkan alunit terbentuk pada pH 3-4,
anhidrit terbentuk pada pH yang lebih tinggi (Reyes, 1985, dalam Corbett dan
Leach, 1997) dan suhu lebih tinggi dari 100-1500 C, sedangkan gipsum
terbentuk pada suhu yang lebih rendah (Harvey, dkk., 1983, dalam Corbett dan
Leach, 1997).
Klasifikasi alterasi hidrotermal berdasarkan kenaikan pH dan suhu (Corbett dan Leach, 1997).
Sumber :
Guilbert,
J. M., and Park, Jr. C. F., (1986). The
Geology of Ore Deposits, W. H. Freeman and Company, New York.
Pirajno,
F.,
(1992). Hydrotermal Mineral Deposits, Principles and Fundamental Concepts
for the Exploration Geologist, Springer-Verlag,
Berlin, Heidelberg, New York, London, Paris.
Comments
Post a Comment